Powered By Blogger

Senin, 15 September 2014


Binar Dua Penerang
 
 
Pagi ini lorong sekolah terlihat sepi, terdengar suara gesekan sapu mengenai tanah dari halaman belakang. Kubiarkan suara itu menjadi irama langkahku menuju ruang kelas yang berada di ujung halaman belakang. Tak seorang siswapun terlihat olehku, hanya beberapa tukang kebun yang sedang menyapu halaman belakang. (Kriiiieeeeekkkk.....) suara pintu ruang kelas yang terlihat usang ketika aku buka. Duduk terdiam dan tak satu halpun yang aku lakukan ketika berada sendiri di ruang kelas, hanya tertunduk dan tak lama meneteskan air mata. Setelah membaca kembali pesan singkat dari Alan.
 “Aku gak bisa!!!aku gak bisa tanpa kamu lan”. suaraku terisak-isak.
Aku masih teringat peristiwa semalam yang membuatku hancur dan tak bisa tidur hingga esok pagi. Aku masih tak mengerti dengan pesan singkat Alan yang tiba-tiba memutuskan hubungannya denganku. Sungguh aku binggung kenapa tiba-tiba Alan berubah, hubungan ini baru berjalan 1 bulan dan aku masih sangat mencintai Alan.

Flowchart: Alternate Process: Elisa maafin aku sebelumnya. Aku udah gak bisa
Sama-sama kamu. Aku ngerasa kita gak cocok.
Aku rasa hubungan kita sampai Sini saja.
Makasih buat semuanya. J






“Alan kamu kenapa sih???kenapa kayak gini???aku sayang kamu lan”. Suara hatiku.
Terdengar suara langkah kaki menuju ruang kelas, segera aku mengusap air mataku agar tak seorangpun yang melihatku menangis .
“Pagi Elisa”. Suara dari balik pintu.
“Pagi juga Winda”. Jawabku.
“Lho!! Mata kamu kenapa??kok merah??trus bengkak lagi.” Tanya Winda tiba-tiba.
“Aah.. masak sih Win?kelilipan tadi”. Jawabku asal.
“Owg,bisa jadi kayak gitu”. Jawab Winda curiga.

Pagi ini aku akan menemui Devi, Devi adalah sahabatku sejak masuk SMA. Aku sebangku dengannya ketika kelas X. Dan dia adalah orang yang sangat mengerti aku, tentu juga tentang hubunganku dengan Alan.
Aku berjalan menahan air mata, menuju kelas Devi yang tak jauh dari kelasku. Terlihat Devi berjalan menuju kelasnya.
“Dev...........!!!”. teriakku kepadanya.
Aku berlari memeluk devi dan tangisanku seketika pecah dipundaknya. Dia terlihat kebingungan melihatku, tak biasanya aku menangis seperti ini, karena dia mengenalku sebagai pribadi periang,asyik,dan humoris.
“Lho!lho!kamu kenapa El??”. Tanya Devi penasaran.
Aku masih menangis dipelukannya tak dapat bicara, hanya kata Alan dan Alan yang keluar dari mulutku.
“Kenapa dengan Alan?”. Tanya devi lagi.
“Alan mutusin aku tadi malam”. Jawabku terisak-isak.
“Apa?”. Jawabnya kaget.
(Aku menggeleng dan masih menangis).
“Ya udah,kamu tenang. Nanti kita bicarain lagi sekarang kita masuk kelas dulu,udah bel soalnya. Aku antar ke kelasmu ya?” Tawar Devi.
Sore ini sepulang sekolah aku akan menemui Devi dan menceritakan semua kejadian kemarin malam. Dan aku berencana esok harinya akan mengajak Devi menemui Alan dan meminta penjelasan.
***
Esok hari sepulang sekolah aku berjalan menyusuri jalan kompleks Anggur  menuju rumah Devi.
“Devi... (Tok..tok..tok)”. Suaraku memanggil Devi.
“Iyaa...”. Terdengar suara dari dalam.
“Ehh non Elisa, cari non Devi yaa?non Devinya lagi keluar sama bundanya,katanya ke rumah sakit”. Kata pembantu Devi.
“Owg,ke rumah sakit bi?? Yaa udah bi bilang sama Devi aku tadi kesini Ya? Jawabku.
Aku memutuskan untuk kembali kerumah. Dan memilih berada dikamar menyendiri dan membiarkan angan-angan pemikiran tentang Alan berkecambuk dibenakku. Aku kembali menangis memeluk teddy bear berwarna pink pemberian Alan. Hanya suara jam dinding yang menemani kegalauan memikirkan Alan. Alan yang selama 1 bulan menjadi penerang kini telah berubah menjadi bumerang.
***
Sore ini aku berencana menemui Devi dirumahnya,karena kata aliya teman sebangkunya, dia tidak ke sekolah sejak aku terakhir pulang sekolah hari sabtu dengannya. Handphonenya juga tak pernah aktif saat dihubungi, aku mulai khawatir kata aliya dia mengirim surat izin sakit beberapa hari. Aku  binggung kedua orang yang aku sayangi tiba-tiba menghilang dan menjauh dariku. Disaat aku butuh Devi untuk menenangkanku setelah berakhirnya hubunganku dengan Alan, sekarang dia juga menghilang entah kemana.
“Aku butuh kalian Devi,Alan!!!!”. Teriakku sendirian disebuah taman sepulang sekolah.
“Hari ini aku harus kerumah Devi,aku harus tahu dia kenapa,iya harus!”. Dalam hatiku.
Aku berlari tak peduli rintik-rintik hujan sore menerpaku dengan lepas. Aku harus menemui Devi, aku harus tahu Devi kenapa menghilang. Dia adalah penerangku disaat Alan pergi. Aku menyayangi Devi karena kita bersahabat sejak lama.
“Devi.. Devi”. Suaraku memanggilnya.
“Eeh nak Elisa”. Jawab mama Devi.
“Tante, Devi kenapa sudah 7 hari gak ke sekolah? Sakit apa?” Tanyaku.
“Devi.. Devi”. (Mama devi menangis).
“Lho! Tante kenapa? Devi kenapa tante?”. Tanyaku penasaran.
“Devi sekarang sudah pindah di Singapura bersama ayahnya nak Elisa,
Devi mengidap penyakit kanker kista dan dia harus berobat disana dan tante gak tahu kapan dia akan kembali disini bersama kita”. Jelas mama Devi Terisak-isak.
“Apa tante? Kanker kista ?Devi mengidap kanker kista?gak tahu kapan akan sembuh dan pulang ?kenapa dia jahat sama aku? kenapa gak pernah bilang sama aku?kenapa tiba-tiba dia pergi?”. (Menangis).
Aku pergi dan berlari tanpa sepatah katapun lagi meninggalkan mama devi yang menangis pilu diteras rumah. Aku berlari menerpa hujan sore itu, menuntut keadilan pada Tuhan kenapa harus orang-orang yang aku sayang? kenapa semuanya pergi meninggalkanku? kenapa harus Alan dan Devi? Mereka cahayaku mereka penerangku. Apa aku terlalu beruntung memiliki mereka hingga mereka satu persatu pergi meninggalkanku. Tuhan kembalikan mereka, atau kau kembalikan senyumku tanpa mereka???

Selesai



Tidak ada komentar:

Posting Komentar