Pagi ini lorong
sekolah terlihat sepi, terdengar suara gesekan sapu mengenai tanah dari halaman
belakang. Kubiarkan suara itu menjadi irama langkahku menuju ruang kelas yang
berada di ujung halaman belakang. Tak seorang siswapun terlihat olehku, hanya
beberapa tukang kebun yang sedang menyapu halaman belakang. (Kriiiieeeeekkkk.....)
suara pintu ruang kelas yang terlihat usang ketika aku buka. Duduk terdiam dan
tak satu halpun yang aku lakukan ketika berada sendiri di ruang kelas, hanya
tertunduk dan tak lama meneteskan air mata. Setelah membaca kembali pesan
singkat dari Alan.
“Aku gak bisa!!!aku gak bisa tanpa kamu lan”.
suaraku terisak-isak.
Aku masih teringat peristiwa
semalam yang membuatku hancur dan tak bisa tidur hingga esok pagi. Aku masih
tak mengerti dengan pesan singkat Alan yang tiba-tiba memutuskan hubungannya
denganku. Sungguh aku binggung kenapa tiba-tiba Alan berubah, hubungan ini baru
berjalan 1 bulan dan aku masih sangat mencintai Alan.
“Alan kamu kenapa
sih???kenapa kayak gini???aku sayang kamu lan”. Suara hatiku.
Terdengar suara
langkah kaki menuju ruang kelas, segera aku mengusap air mataku agar tak
seorangpun yang melihatku menangis .
“Pagi Elisa”.
Suara dari balik pintu.
“Pagi juga Winda”.
Jawabku.
“Lho!! Mata kamu
kenapa??kok merah??trus bengkak lagi.” Tanya Winda tiba-tiba.
“Aah.. masak sih
Win?kelilipan tadi”. Jawabku asal.
“Owg,bisa jadi
kayak gitu”. Jawab Winda curiga.
Pagi ini aku akan
menemui Devi, Devi adalah sahabatku sejak masuk SMA. Aku sebangku dengannya
ketika kelas X. Dan dia adalah orang yang sangat mengerti aku, tentu juga
tentang hubunganku dengan Alan.
Aku berjalan
menahan air mata, menuju kelas Devi yang tak jauh dari kelasku. Terlihat Devi
berjalan menuju kelasnya.
“Dev...........!!!”.
teriakku kepadanya.
Aku berlari
memeluk devi dan tangisanku seketika pecah dipundaknya. Dia terlihat
kebingungan melihatku, tak biasanya aku menangis seperti ini, karena dia
mengenalku sebagai pribadi periang,asyik,dan humoris.
“Lho!lho!kamu
kenapa El??”. Tanya Devi penasaran.
Aku masih menangis
dipelukannya tak dapat bicara, hanya kata Alan dan Alan yang keluar dari
mulutku.
“Kenapa dengan
Alan?”. Tanya devi lagi.
“Alan mutusin aku
tadi malam”. Jawabku terisak-isak.
“Apa?”. Jawabnya
kaget.
(Aku menggeleng
dan masih menangis).
“Ya udah,kamu
tenang. Nanti kita bicarain lagi sekarang kita masuk kelas dulu,udah bel
soalnya. Aku antar ke kelasmu ya?” Tawar Devi.
Sore ini sepulang
sekolah aku akan menemui Devi dan menceritakan semua kejadian kemarin malam.
Dan aku berencana esok harinya akan mengajak Devi menemui Alan dan meminta
penjelasan.
***
Esok hari sepulang
sekolah aku berjalan menyusuri jalan kompleks Anggur menuju rumah Devi.
“Devi...
(Tok..tok..tok)”. Suaraku memanggil Devi.
“Iyaa...”.
Terdengar suara dari dalam.
“Ehh non Elisa,
cari non Devi yaa?non Devinya lagi keluar sama bundanya,katanya ke rumah sakit”.
Kata pembantu Devi.
“Owg,ke rumah
sakit bi?? Yaa udah bi bilang sama Devi aku tadi kesini Ya? Jawabku.
Aku memutuskan
untuk kembali kerumah. Dan memilih berada dikamar menyendiri dan membiarkan
angan-angan pemikiran tentang Alan berkecambuk dibenakku. Aku kembali menangis
memeluk teddy bear berwarna pink pemberian Alan. Hanya suara jam dinding yang
menemani kegalauan memikirkan Alan. Alan yang selama 1 bulan menjadi penerang
kini telah berubah menjadi bumerang.
***
Sore ini aku
berencana menemui Devi dirumahnya,karena kata aliya teman sebangkunya, dia tidak
ke sekolah sejak aku terakhir pulang sekolah hari sabtu dengannya. Handphonenya
juga tak pernah aktif saat dihubungi, aku mulai khawatir kata aliya dia
mengirim surat izin sakit beberapa hari. Aku
binggung kedua orang yang aku sayangi tiba-tiba menghilang dan menjauh
dariku. Disaat aku butuh Devi untuk menenangkanku setelah berakhirnya
hubunganku dengan Alan, sekarang dia juga menghilang entah kemana.
“Aku butuh kalian
Devi,Alan!!!!”. Teriakku sendirian disebuah taman sepulang sekolah.
“Hari ini aku harus
kerumah Devi,aku harus tahu dia kenapa,iya harus!”. Dalam hatiku.
Aku berlari tak
peduli rintik-rintik hujan sore menerpaku dengan lepas. Aku harus menemui Devi,
aku harus tahu Devi kenapa menghilang. Dia adalah penerangku disaat Alan pergi.
Aku menyayangi Devi karena kita bersahabat sejak lama.
“Devi.. Devi”.
Suaraku memanggilnya.
“Eeh nak Elisa”.
Jawab mama Devi.
“Tante, Devi
kenapa sudah 7 hari gak ke sekolah? Sakit apa?” Tanyaku.
“Devi.. Devi”.
(Mama devi menangis).
“Lho! Tante
kenapa? Devi kenapa tante?”. Tanyaku penasaran.
“Devi sekarang
sudah pindah di Singapura bersama ayahnya nak Elisa,
Devi mengidap
penyakit kanker kista dan dia harus berobat disana dan tante gak tahu kapan dia
akan kembali disini bersama kita”. Jelas mama Devi Terisak-isak.
“Apa tante? Kanker
kista ?Devi mengidap kanker kista?gak tahu kapan akan sembuh dan pulang ?kenapa
dia jahat sama aku? kenapa gak pernah bilang sama aku?kenapa tiba-tiba dia
pergi?”. (Menangis).
Aku pergi dan
berlari tanpa sepatah katapun lagi meninggalkan mama devi yang menangis pilu
diteras rumah. Aku berlari menerpa hujan sore itu, menuntut keadilan pada Tuhan
kenapa harus orang-orang yang aku sayang? kenapa semuanya pergi meninggalkanku?
kenapa harus Alan dan Devi? Mereka cahayaku mereka penerangku. Apa aku terlalu
beruntung memiliki mereka hingga mereka satu persatu pergi meninggalkanku.
Tuhan kembalikan mereka, atau kau kembalikan senyumku tanpa mereka???
Selesai